BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
sejarah pemikiran ekonomi, kehadiran aliran atau mazhab ekonomi biasanya
bertujuan mengkritik, mengevaluasi atau mengoreksi aliran-aliran ekonomi
sebelumnya yang dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi.
Dalam ekonomi konvensional (umum), kita mengenal aliran ekonomi klasik,
neoklasik, marxis, historis, institusional, moneteris, dan lain sebagainya.
Ilmu ekonomi Islam pun tidak luput dari aliran atau mazhab-mazhab ekonomi.
Ketika
menjelaskan hakikat ekonomi Islam, maka akan tampak beberapa sudut pandang
tentang ekonomi Islam. Terlepas adanya beberapa perbedaan tersebut, semua
mazhab yang ada menyepakati bahwa ekonomi Islam selalu mengedepankan
kemaslahatan di dalam segala aktivitasnya. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom Muslim kontemporer dapat kita
klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
·
Mazhab Iqtishaduna
·
Mazhab Mainstream; dan
·
Mazhab Alternatif-Kritis
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pandangan
ekonomi Islam dalam Mazhab Iqtishaduna?
Ø Bagaimana
latar belakang tokoh dalam Mazhab Iqtishaduna?
2.
Bagaimana pandangan
ekonomi Islam dalam Mazhab Mainstream?
Ø Bagaimana
latar belakang tokoh dalam Mazhab Mainstream?
3.
Bagaimana pandangan
ekonomi Islam dalam Mazhab Alternatif-Kritis?
Ø Bagaimana
latar belakang tokoh dalam Mazhab Alternatif-Kritis?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Mazhab Iqtishaduna
Iqtishad
bukan
hanya sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal dari kata bahasa
arab qashd, yang secara harfiah berarti “ekuilibrium” atau “keadaan
sama, seimbang, atau pertengahan”. Sejalan dengan itu, maka semua teori yang
dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai
gantinya, mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru yang langsung
digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Mazhab
ini dipelopori oleh Baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna
(ekonomi kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics)
tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah
dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif.
Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.[2]
Menurut
pemikiran As-Sadr bahwa dalam mempelajari ilmu ekonomi harus dilihat dari dua
aspek, yaitu aspek philosophy of economics atau normative economics dan
aspek positive economics. Contoh dari aspek positive economics,
yaitu mempelajari teori konsumsi dan permintaan yang merupakan suatu fenomena
umum dan dapat diterima oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh ideologi. Dalam
teori konsumsi dirumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suatu
barang adalah tingkat pendapatan, tingkat harga, selera, dan faktor-faktor
non-ekonomi lainnya. Berdasarkan hukum permintaan (law of demand) bahwa
ada korelasi yang negatif antara besarnya tingkat harga barang dengan jumlah
barang yang diminta asumsi cateris paribus. Jika harga barang naik
jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya. Fakta ini terjadi pada
konteks ekonomi dimana pun dan oleh siapa pun tanpa melihat latar belakang
sosial, budaya, agama, politik, dan sebagainya.
Adapun
dari aspek phylosophy of economics yang merupakan hasil pemikiran
manusia, maka akan dijumpai bahwa tiap kelompok manusia mempunyai ideologi,
cara pandang dan kebiasaan (habit) yang tidak sama. Persoalan kepantasan
antara satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya atau antara satu golongan
masyarakat dengan golongan lainnya masing-masing memiliki batasan atau definisi
sendiri. Makan sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri merupakan hal yang
pantas dan biasa di masyarakat Eropa, namun lain halnya pada masyarakat di
Indonesia. Dalam pandangan Islam bahwa
sesuatu diaggap ‘pantas’ manakala hal itu dianjurkan dalam Islam dan sesuatu
dianggap ‘tidak pantas’ jika hal itu dicela dan dilarang menurut syariah.
Ada
kesenjangan secara terminologis antara
pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian
ekonomi dalam perspektif syariah Islam sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam
dalam konteks syariaah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari
Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah
kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan
manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini Mazhab Baqir As-Sadr
menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT
telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber
daya ekonomi sebagaimana ditegaskan melalui firman-Nya dalam Surah Al-Furqan
(25) ayat 2:
الَّذِي لَهُ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ
شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ
شَيْءٍ
فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Kepunyaan-Nya-lah
kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu
baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia
menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”[3]
Selain itu,
menurut mereka perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang
keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi
muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber
daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya
terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam
tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah
Al-Qur’an surat Al-Qamar ayat 49:
إِنَّا كُلَّ
شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sungguh telah Kami
ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.”
Dengan demikian, karena
segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah
memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.
Pendapat
bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Contoh: Manusia akan
berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh karena itu, mazhab ini
berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar sebab pada
kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan
teori Marginal Utility, Law of Diminishing Returns, dan Hukum Gossen
dalam ilmu ekonomi).
Mazhab
Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang
tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan
eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses
terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu
masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, menurut mereka,
istilah ekonomi Islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah,
tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi
Islami harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal
dari filosofi Islam, yakni Iqtishad.[4]
Latar Belakang Tokoh
(Muhammad Baqir As-Sadr):
Asy-Syahid
Muhammad
Baqir As-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad pada 1935. Sebagai keturunan
dari sebuah keluarga sarjana dan intelektual Islam Syi’ah ang termasyur, wajar
saja Sadr mengikuti langkah kaki mereka. Ia memilih untuk menuntut pengajaran
Islam tradisional di hauzah atau sekolah tradisional di Iraq, dan disitu
ia belajar fiqh, ushul, dan teologi. Ia amat menonjol dalam prestasi
intelektualnya, sehingga pada umur 20 tahun telah memperoleh derajat mujtahid
mutlaq, dan selanjutnya meningkat lagi ke tingka otoritas tertinggi marja
(otoritas pembeda). Otoritas intelektual dan spiritual di dalam tradisi
Islam tersebut juga terwujud di dalam tulisan-tulisan Sadr, dan di dalam
karyanya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) ia menunjukkan metodologi
‘pernyataan tegas yang independen, tetapi memenuhi syarat’.
Sekalipun
memiliki latar belakang tradisional, Sadr tidak pernah terpisah dari isu-isu
kontemporer. Minat intelektualnya yang tajam mendorongnya untuk secara kritis
mempelajari filsafat kontemporer, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan hukum. Seperti
Taleghani, ia adalah seorang ‘alim yang aktif’. Secara terus-menerus ia
menyuarakan pandangan-pandangannya mengenai kondisi kaum Muslimin dan
membicarakan keinginan untuk merdeka, tidak saja kekangan politik, namun juga
dari ‘pemikiran dan gagasan’. Kondisi di Iraq mendorongnya untuk mendirikan Hizb
ad-Da’wah al-Islamiyah (Partai Dakwah Islam), yakni sebuah partai yang
menyatukan para pimpinan agama dan kaum muda, yang terutama sekali dimaksudkan
untuk melawan gelombang sosialisme Ba’ats yang mengambil kekuasaan politik pada
1958. Karyanya Falsafatuna (Filsafat Kita) dan kemudian Iqtishaduna,
memberikan suatu kritik komparatif terhadap kapitalisme maupun sosialisme, dan
pada saaat yang sama menggambarkan pandangan-dunia (worldview) Islam
bersama dengan garis-garis besar sistem ekonomi Islam.[5]
B. Mazhab Mainstream
Mazhab
kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab yang lebih dikenal
dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul
karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang
tidak terbatas.[6]
Memang benar
misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada
pada titik ekuilibrium. Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu
tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang
sering kali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu
lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang
ada, bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira bagi orang-orang yang sabar.”
Sedangkan keinginan manusia yang
tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalil yang dipakai adalah
Al-Qur’an surat At-Takatsur ayat 1-5:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ
الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4)
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5)
“Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”
Dan sabda Nabi Muhammad
SAW. bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia
akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga
lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.
Dengan
demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya
dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi
penyebab munculnya masalah ekonomi.[7]
Perbedaan
mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah
ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah kelangkaan
ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Dalam ekonomi konvensional,
pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi
masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai
agama ataukah tidak. Dengan kata lain pilihan dilakukan berdasarkan tuntutan
nafsu semata (Homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi Islam, penentuan
pilihan tidak bisa seenaknya saja, sebab semua sendi kehidupan kita telah diatur
oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai manusia ekonomi Islam (Homo islamicus)
harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada.[8]
Sesuai
dengan namanya, maka mazhab pemikiran ekonomi Islam ini mendominasi khasanah
pemikiran ekonomi Islam di seluruh dunia. Meluasnya mazhab ini dipengaruhi
oleh beberapa hal, yaitu:
1.
Secara umum
pemikiran mereka relatif lebih moderat jika dibandingkan dengan mazhab lainnya
sehingga lebih mudah diterima masyarakat.
2.
Ide-ide mereka
banyak ditampilkan dengan cara-cara ekonomi konvensional, misalnya menggunakan economic
modeling dan quantitative methods sehingga mudah dipahami oleh
masyarakat luas. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan, sebab para pendukung
mazhab ini kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan ekonomi konvensional,
di samping penguasaan ilmu keislaman yang memadai. Banyak diantara mereka telah
menempuh pendidikan dengan jenjang tinggi dan tetap beraktivitas ilmiah di
negara-negara Barat, misalnya Umar Chapra, Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan
Muhammad Abdul Mannan.
3.
Kebanyakan tokoh
merupakan staf, peneliti, penasehat, atau setidaknya memiliki jaringan erat
dengan lembaga-lembaga regional dan internasional yang telah mapan seperti Islamic
Development Bank (IDB), International Institute of Islamic thought (III
T), Islamic research and Training Institute (IRTI), dan Islamic
Foundation pada beberapa universitas maju. Lembaga-lembaga ini memiliki
jaringan kerja yang luas didukung dengan pendanaan yang memadai, sehingga dapat
mensosialisasikan gagasan ekonomi Islam dengan lebih baik. Bahkan, gagasan
ekonomi Islam diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi yang nyata, sebagaimana
yang dilakukan oleh IDB dalam membantu pembangunan di negara-negara muslim.[9]
Tokoh-tokoh
mazhab ini antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, MA Mannan, MN Siddiqi, dan
lain-lain. Mayoritas mereka adalah pakar ekonomi yang belajar serta mengajar di
universitas-universitas Barat, dan sebagian besar diantara mereka adalah ekonom
Islamic Development Bank (IDB). Mazhab ini tidak pernah membuang
sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Salah seorang
tokoh mazhab ini Umer Chapra mengatakan bahwa usaha pengembangan ekonomi Islam
bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga
yang telah dicapai oleh para ekonom konvensional. Yang bermanfaat diambil, yang
tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu proses transformasi keilmuan
tang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip syariah Islam. Keilmuan yang saat
ini berkembang di dunia Barat pada dasarnya merupakan pengembangan keilmuan
yang dikembangkan oleh para ilmuan muslim pada era dark ages, sehingga
bukan tak mungkin ilmu yang berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang
sarat nilai karena merupakan pengembangan dari pemikiran ilmuan muslim
terdahulu.[10]
Mengambil
hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan dari bangsa dan budaya
non-Islam sama sekali tidaklah diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah/ilmu itu
bagi umat Islam ibarat barang yang hilang. Dimana saja ditemukan, maka umat
Muslimlah yang paling berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat Muslim
memperkuat hal ini. Para ulama dan ilmuan Muslim banyak meminjam ilmu dari
peradaban lain, seperti Yunani, India, Persia, dan China yang bermanfaat diambil
dan yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga transformasi ilmu dengan diterangi
cahaya Islam.[11]
Latar Belakang Tokoh
(M. Umer Chapra):
Umar Chapra dilahirkan
pada tanggal 1 januari 1933 yang bertempat di Pakistan. Ayahnya bernama Abdul
Karim Chapra. Ia terlahir dengan penuh keberuntungan karena keluarganya adalah
keluarga yang taat beragama, sehingga dalam dirinya tertanam dan tumbuh menjadi
orang yang berkepribadian baik. Ia juga memiliki peluang yang besar untuk
menjadi orang yang cendekia melalui pendidikan yang tinggi karena keluarganya
termasuk orang yang memiliki kecukupan harta, baginya tidak ada alas an untuk
menempuh semua itu. Sejak kecil ia menghabiskan umurnya di tanah kelahiran
hingga mencapai umur 15 tahun. Setelah itu ia berpindah tempat ke Karachi
dengan alasan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi hingga akhirnya ia
mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas Minnesota. Mencapai umur 29 tahun ia
mengakhiri masa lajangnya dengan keputusan menikah dengan salah seorang wanita
bernama Khoirunnisa Jamal Mundia pada tahun 1962.
Awal mula karirnya nampak ketika ia mengikuti ujian
masuk ke Universitas Sind pada tahun 1950 dan mendapatkan prestasi dengan simbol
pemberian medali emas karena berhasil menduduki urutan pertama dari 25.000
mahasiswa yang daftar. Pendidikannya terus berlanjut dengan meraih gelar S2 di
Universitas karachio pada tahun 1954 dan 1956, dan melangsungkan karir
akademisnya yang tertinggi yaitu ketika meraih gelar doctoral di Minnesota
minepolis. Dalam pendidikannya ia dibimbing oleh Prof.
Kedudukan beliau sangat potensial di berbagai
lembaga-lembaga yang ada seperti: beliau menjadi sebagai penasehat pada Islamic
Research and Training Institute (IRTI) dari Islamic Development Bank (IDB)
Jeddah, sebelum menduduki posisi di Saudi Arabian Monetery Agency (SAMA) Riyadh
menjadi penasehat penelitian senior selama hamper 35 tahun. Selain itu juga
beliau dalam karirnya kurang lebih 45 tahun menduduki profesi di berbagai
lembaga yang berhubungan dengan permasalahn ekonomi diantaranya yaitu:
1.
Selama dua tahun di
Pakistan
2.
Enam tahun di USA
3.
Dan tiga puluh tujuh
tahun di Arab Saudi.
Di luar dari profesinya ada juga kegiatan-kegiatan
internasional dan regional yang beliau ikuti yang diselenggarakan oleh IMF,
IBRD, OPEC, OIC, GCC, dan IDB. Dalam bidang jurnalistik beliau aktif sebagai
dewan pengurus redaksi di berbagai jurnal, termasuk Economic Jurnal of the
Royal Economic Society, U.K. disamping aktif dalam bidang ekonomi Umar
Cahpra juga aktif dalam memberikan ceramah secara teratur dalam penyampaian
al-Qur`an, hadits, dan fiqih.
Dengan ide-ide cemerlangnya beliau sangat berperan
dalam perkembangan ekonomi Islam yang dituangkan dalam banyak karangannya. Dengan
pengabdiannya beliau mendapatkan penghargaan dari Islamic Development Bank
Award dalam ekonomi Islam dan dari King Faisal International Price
(KFIP) dalam kajian Islam yang didapat pada tahun 1990. Kemudian pada tahun
1995, beliau mendapatkan medali emas dari Institute of Overseas Pakistanis (IOP)
yang langsung diserahkan oleh Presiden Pakistan dalam konferensi pertama IOP di
Islamabad.[12]
C. Mazhab Alternatif-Kritis
Pelopor
mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of
Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad
Arif, dan lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab
Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru
yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama,
kemudian menggantinya dengan teori baru. Sementara itu, mazhab mainstream dikritiknya
sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan
memasukkan variabel zakat serta niat.
Mazhab
ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis
bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga
terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar,
tetapi ekonomi Islami belum tentu benar karena ekonomi Islami adalah hasil
tafsiran manusia atas Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak
mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi Islami harus selalu
diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.[13]
Pemikiran
tentang ekonomi Islam saat ini telah berkembang pesat, sejalan dengan upaya
untuk implementasinya. Zarqa (1992) telah mengklasifikasikan kontribusi
pemikiran ekonomi Islam yang berkembang saat ini ke dalam 4 kategori, yaitu:
1.
Pertama,
mereka banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normatif sistem ekonomi Islam,
menemuka prinsip-prinsip baru dalam sistem tersebut, atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan modern mengenai sistem tersebut. Termasuk dalam kategori
ini yaitu para ahli syari’ah (fuqaha / juruts).
2.
Kedua,
penemuan asumsi-asumsi dan pernyataan-pernyataan positif dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang relevan bagi ilmu ekonomi. Contoh kategori ini yaitu konsepsi
ekonomi Islam mengenai pasar (yang diderivasi dari konsep syari’ah),
mengajukan asumsi adanya ketimpangan informasi antara pembeli dan penjual.
Konsep ini berbeda dengan model pasar persaingan sempurna dalam ekonomi
konvensional (klasik) yang secara eksplisit mengasumsikan semua pelaku
pasar memiliki informasi yang sempurna, yaitu benar dan lengkap, yang tersedia
secara bebas. Karya Munawar Iqbal (1992) mengenai organisasi produksi dan teori
perilaku perusahaan dalam perspektif Islam merupakan contoh kategori
ini.
3.
Ketiga,
terdapatnya pernyataan ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir ekonomi
Islam, seperti banyak terdapat dalam karya Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun telah
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang
dan menurunnya masyarakat dalam bukunya muqadimah. Contoh lainnya adalah
karya al-Maqrizi mengenai penyebab dan dampak inflasi terhadap
perekonomian.
4.
Keempat,
analisis ekonomi dalam bagian sistem ekonomi Islam dan analisis konsekuensi
pernyataan positif ekonomi Islam mengenai kehidupan ekonomi. Kontributor utama
kategori ini antara lain para ahli ekonomi konvensional yang sekaligus
menguasai ilmu syari’ah, dan umumnya mereka banyak menggunakan perangkat
analisis sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Bahkan pada akhir-akhir ini
terdapat banyak ahli ekonomi non Muslim yang mengkaji secara serius ekonomi
Islam, misalnya Badal Mukerji dalam karyanya A Micro model of the Islamic
Tax System.
Sementara
itu mazhab alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur Kuran (Ketua Jurusan
Ekonomi di University of Southern California), Prof. Jomo dan Muhammad
Arif, memandang pemikiran mazhab Baqir Sadr berusaha menggali dan menemukan
paradigma ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi
konvensional, tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab mainstream merupakan
wajah baru dari pandangan Neo-Klasik dengan menghilangkan unsur bunga
dan menambahkan zakat. Selanjutnya mazhab ini menawarkan suatu kontribusi
dengan memberikan analisis kritis tentang ilmu ekonomi bukan hanya pada
pandangan kapitalisme dan sosialisme (yang merupakan representasi
wajah ekonomi konvensional), melainkan juga melakukan kritik terhadap
perkembangan wacana ekonomi Islam.[14]
Latar Belakang Tokoh
(Timur Kuran):
Timur Kuran lahir pada tahun 1954 di New York, Timur Kuran menghabiskan
masa kecilnya di Ankara. Ayahnya mengajar di Universitas Teknis di Timur
Tengah. Ketika ia masih remaja, keluarganya pindah ke Istanbul. Ia tinggal
tidak jauh dari kampus Universitas Bogasici, dimana ayahnya adalah seorang
profesor sejarah arsitektur Islam.
Timur kuran memperoleh pendidikan menengah di turki, lulus di Universitas
Robert di Istanbul pada tahun 1973, kemudian dia belajar ekonomi di Princeton University, sampai akhirnya ia di wisuda dengan prestasi sebagai
mahasiswa terbaik di angkatannya pada tahun 1977. Lalu ia melanjutkan
belajarnya di Stanford Univercity untuk memperoleh gelar doctor di bidang
ekonomi. Timur kuran telah banyak menulis tentang evolusi preferensi dan
lembaga, dengan kontribusi untuk mempelajari preferensi tersembunyi, ketidakpastian
revolusi sosial, dinamika konflik etnis, persepsi diskriminasi, kebohongan
publik. Kuran juga menulis tentang Islam dan Timur Tengah. Dengan fokus awal
pada kontemporer untuk merestrukturisasi ekonomi
menurut ajaran Islam. Beberapa esainya tentang topik ini termasuk dalam Islam
dan mammon: The Predicaments Ekonomi Islamisme (Priceton
University Press) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dan Arab.
Sejak pertengahan 1990-an ia telah mengalihkan perhatiannya untuk
teka-teki Timur Tengah, yang pernah memiliki standar hidup yang tinggi
dengan standar global, kemudian tertinggal di berbagai bidang, termasuk
produksi ekonomi, kemampuan organisasi, kreativitas dengan standar global, kreativitas
teknologi, demokratisasi, dan kekuatan militer. Dari 1990-2008 Timur Kuran menjabat
sebagai editor dari seri buku interdisipliner diterbitkan oleh University of
Michigan Press. Seri ini didirikan kembali di Cambridge University Press pada
tahun 2009 dengan judul Cambridge Studi Ekonomi, Kognisi dan Masyarakat. Dia
mengajar di University of Southern California antara tahun 1982 dan 2007, di
mana ia memegang Raja Faisal guru dalam pemikiran Islam dan budaya dari 1993
dan seterusnya. Dari tahun 2005 sampai 2007, dia adalah Direktur USC Lembaga
Penelitian Ekonomi pada Peradaban, yang didirikannya. Pada 1989-1990 ia menjadi
anggota Institute for Advanced Study di Princeton, tahun 1996-97 ia memegang
John Olin mengunjungi guru di Graduate School of Business, University of
Chicago, saat ini ia
adalah anggota komite eksekutif asosiasi ekonomi internasional.[15]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mazhab iqtishaduna
dipelopori oleh Baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi
kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak
pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah
dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif.
Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.
Mazhab
mainstream berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab yang lebih
dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi
muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia
yang tidak terbatas. Tokoh-tokoh mazhab ini antara lain adalah Umer Chapra,
Metwally, MA Mannan, MN Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas mereka adalah pakar
ekonomi yang belajar serta mengajar di universitas-universitas Barat, dan
sebagian besar diantara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB).
Sementara itu
mazhab alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi
di University of Southern California), Prof. Jomo dan Muhammad Arif,
memandang pemikiran mazhab Baqir Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma
ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional,
tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab mainstream merupakan wajah
baru dari pandangan Neo-Klasik dengan menghilangkan unsur bunga dan
menambahkan zakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Arif, M. Nur Rianto. Dasar-Dasar Ekonomi
Islam. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011.
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Chapra, M. Umer, Islam dan
Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kadir
Riyadi. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al-Syari’ah.
Jakarta: Kencana, 2014.
Haneef, Mohammad Aslam. Pemikiran
Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Karim,
Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. Islamic
Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi!. Jakarta: Bumi
Aksara, 2009.
Salim, Ahmad. “Pemikiran Ekonomi Islam
Masa Timur Kuran”. 2013, (http://newskripsi.blogspot.com, diakses tanggal 13 Maret 2015).
[1] Ika Yunia
Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah (Jakarta: Kencana, 2014), 37.
[2] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 30.
[3] Veithzal Rivai
dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi
Solusi! (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 384-386.
[4] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islami, 30-31.
[5] Mohammad Aslam
Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), 131-132.
[6] M. Nur Rianto
Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Solo: Era Adicitra Intermedia,
2011), 25.
[7] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islami, 31-32.
[8] M. Nur Rianto
Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, 26.
[9] Nur Chamid, Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), 408-409.
[10] M. Nur Rianto
Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, 26.
[11] Ika Yunia
Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah, 39-40.
[12] M. Umer
Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), 16-17.
[13] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islami, 33.
[14] Nur Chamid, Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 410-412.
[15] Ahmad Salim,
“Pemikiran Ekonomi Islam Masa Timur Kuran”, Newskripsi Blog, http://newskripsi.blogspot.com, September
2013, diakses tanggal 13 Maret 2015.
0 komentar:
Post a Comment