BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pendistribusian harta, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun individu. Keadilan dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada sistem ekonomi yang dianut. Pembahasan mengenai pengertian distribusi pendapatan, tidak terlepas dari pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut juga model instrumen yang diterapkan individu maupun negara dalam menentukan sumber-sumber maupun cara-cara pendistribusian pendapatannya.Dasar karakteristik pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Pelaksanaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan satu sama lain. Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme muamalah antara produsen dan konsumen agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial.
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengakhiri kesengsaraan dimuka bumi ini adalah dengan menerapkan keadilan ekonomi. Kebahagiaan akan mudah dicapai dengan penerapan perekonomian yang mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Islam menegaskan untuk para penguasa, agar meminimalkan kesenjangan dan ketidakseimbangan distribusi. Pajak yang diterapkan atas kekayaan seseorang bertujuan untuk membantu yang miskin. Sementara dalam Islam Allah mensyari’atkan zakat. Jika hal ini dijadikan konsep distribusi pendapatan, InsyaAllah sistem perekonomianpun akan berjalan lancar dan masyarakat akan sejahtera.
Surat At-Taubah ayat 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Penjelasan:
Penerimaan zakat dari banyak orang oleh Rasulullah dikataka sebagai suatu ibadah mensucikan mereka dari kekotoran hartanya. Kata zakat itu sendiri menunjukkan bahwa harta yang dibelanjakan secara tidak bijaksana baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, akan menimbulkan keburukan di dalam masyarakat (dengan cara menggalakkan industri-industri yang tidak produktif dan mewah sehingga melahirkan pertentangan dan perbedaan kelas). Hanya apabila harta dibelanjakan untuk hal-hal yang baik saja dapat menumbuhkan dan mensucikan masyarakat dari keburukan (dengan mendorong pembangunan industri yang sehat, bermanfaat dan produktif).[1]
Surat Adz- Dzaariyat ayat 19
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Tafsir Ayat :
Kata yang digunakan adalah hak ( حق ) yang berarti tanggung jawab yang diserahkan kepada seseorang, untuk bersaing mendapatkan suatu hak dan tanggung jawab yang harus dilakukannya, untuk mengatasi seseorang dalam memperjuangkan haknya. Jelaslah bahwa terdapat hak (bagian) orang miskin di dalam harta orang-orang kaya. Dengan kata lain, tuntutan orang-orang miskin terdapat harta orang kaya adalah benar dan mereka harus mengembalikannya. Jika mereka tidak mengembalikannya, atas harta orang miskin itu, mereka akan mempertanggung jawabkan di akhirat nanti atas kezalimannya itu. Jika orang kaya mengembalikan bagian harta orang miskin, orang-orang miskin akan menerimanya dengan senang hati dan merasa puas atas hartanya sendiri tanpa menuntut lebih banyak lagi.
Ada salah satu sumber yang menyatakan bahwa kosakata dari ayat tersebut adalah (الْمَحْرُومِ ) maknanya berkisar pada arti al-man’atau tercegah, terhalangi dan lain sebagainya. Sebagian ahli tafsir mengartikannya sebagai orang yang menjaga diri dari meminta-minta padahal dirinya dalam kekurangan. Sebagian lagi mengartikannya dengan orang yang terkena malapetaka terhadap tanamannya atau hewannya.
Penjelasan :
Ayat ini menerangkan bahwa disamping mereka melaksanakan sholat wajib dan sunnah, mmereka juga selalu mengeluarkan infaq fi sabilillah dengan cara mengeluarkan zakat atau sumbangan derma atau songkongan sukarela karena mereka memandang bahwa pada harta-harta mereka itu ada hak fakir miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta bagian karena merasa malu untuk meminta.
Selain itu juga diperkuat dengan Allah berfirman bahwa, “dan harta-harta mereka ada hak” yaitu bagian yang dipisahkan dan dikhususkan untuk orang yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagia. Adapun orang yang meminta-minta itu, maka sudah diketahui, yaitu orang yang memulai upayanya dengan jalan meminta-minta dan orang yang seperti itu ada haknya. Adapun yang dimaksud dengan orang miskin yang tidak tidak mendapatkan bagian, maka Ibnu Abbas r.a dan yang lainnya mengatakan, “dia adalah orang yang bernasib buruk yang tidak mendapatkan bagian dalam Islam, yaitu tidak mendapatkan dari baitul mal, dia tidak mempunyai usaha dan keahlian yang dapat dijadikan pegangan untuk kehidupan sehari-hari”.[3]
Kaitan Ayat dengan Tema
Bahwa kita diciptakan harus bisa saling mengerti, dalam artian meskipun kita sudah mempunyai harta yang banyak karena bisa bekerja dan bisa menghasilkan suatu karya, maka jangan lupa dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Terutama orang-orang yang membutuhkan. Karena setiap harta yang kita miliki pasti ada harta mereka. Dan kita harus bisa mendistribusikan dengan baik melalui zakat, infaq, dll.
Surat Al- Hasyr ayat 22
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Artinya : “Dia Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah ar-Rahman lagi ar-Rahim.”
Tafsir Ayat :
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ : Allah adalah Tuhan yang haq yang tidak ada sembahan yang berhak disembah, kecuali Dia.
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ : Maha Mengetahui yang nampak dan yang tidak nampak.
هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ : Maha Pengasih dan Maha Penyayang di dunia dan di akhirat.
Kelompok ayat-ayat ini merupakan penutup uraian surah. Sebelum ini telah berulang-ulang disebut nama Allah atau pengganti nama-Nya serta sifat-sifat-Nya (26 kali menyebut kata Allah dan 16 kali pengganti atau penyebutan sifat-sifat-Nya). Kesemuanya menunjuk keagungan Allah SWT. Di sisi lain, ayat yang lalu menguraikan tentang keagungan Al-Qur’an, maka sangat wajar jika kelompok ayat-ayat ini berbicara tentang sifat-sifat Allah yang menurunkan kitab suci itu, sekaligus menunjuk kepada Allah yang disebut berulang-ulang pada ayat-ayat yang lalu.
Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata “Dia” yakni Dia yang menurunkan Al-Qur’an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat yang lalu Dia, Allah Yang tiada Tuhan yang berhak disembah, serta tiada Pencipta dan Pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui yang gaib baik yang nisbiyy / relatif maupun yang mutlak dan yang nyata, Dia-lah saja ar-Rahman Pencurah rahmat yang bersifat sementara untuk seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini lagi ar-Rahim Pencurah rahmat yang abadi bagi orang-orang beriman di akhirat nanti.
Al-Biqa’I berkomentar tentang kata ( هو ) huwa pada ayat di atas, bahwa Dia yang wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri sehingga Dia sama sekali tidak disentuh oleh ‘adam (ketiadaan) dalam bentuk apapun, dan dengan demikian tidak ada wujud yang pantas disifati dengan kata tersebut selain-Nya, karena Dialah yang selalu wujud sejak dahulu hingga kemudian yang tidak terhingga. Dialah yang hadir pada setiap benak, dan yang gaib (tidak terjangkau) keagungan-Nya oleh semua indera, dan karena itu pula gunung retak karena takut kepada-Nya.
Kata ( هو ) huwa yang mendahului kata ar-Rahman ar-Rahim berfungsi mengkhususkan kedua sifat itu dalam pengertiannya yang sempurna hanya untuk Allah SWT.
Kata ( الله ) Allah sepintas tidak diperlukan lagi karena kata huwa telah menunjuk kepada-Nya. Tetapi ini agaknya untuk menggambarkan semua sifat-sifat-Nya, sebelum menyebut sifat-sifat tertentu, karena kata Allah menunjuk kepada Dzat yang wajib wujud-Nya itu dengan semua sifat-Nya, baik sifat Dzat maupun sifat fi’l. Apabila Anda berkata “Allah” maka apa yang Anda ucapkan itu, telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedang bila Anda mengucapkan nama-Nya yang lain – misalnya ar-Rahim atau al-Malik maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat, atau sifat kepemilikan-Nya.
Penyebutan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim setelah menegaskan pengetahuan-Nya yang menyeluruh mengisyaratkan bahwa Dia Maha Mengetahui keadaan makhluk-Nya sehingga semua diberikan rahmat sesuai kebutuhan dan kewajarannya menerima.[5]
Surat Al-Ma’arij ayat 24-25
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ(24) لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25)
Artinya : “(24) Dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu. (25) Bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.”
Tafsir Ayat :
حَقٌّ مَّعْلُومٌ : Bagian tertentu yang telah ditentukan oleh Allah, Sang Pembuat syariat, misalnya zakat.
لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ : Orang yang meminta-minta sedekah dan orang yang tidak meminta-minta karena
memiliki rasa malu dan menjaga harga diri.
Penjelasan :
Dalam kedua surat ini menjelaskan bahwa mengakui kewajiban dari Allah yang menyangkut masalah harta dan menunaikan kewajiban tersebut dengan lapang dada, seperti memberikannya kepada orang yang meminta-minta dan orang yang tidak meminta-minta, tetapi memang berhak (layak) untuk menerimanya, sesuai dengan firman-Nya, “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.
[1] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), Hal.236.
[2] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), Hal.319.
[3] Ar-Rifa’i Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Hal. 471.
[4] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, terj. Fityan Amaliy dan Edi Suwanto (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), Hal. 380.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah ; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Hal. 134-135.
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi Kambing
ReplyDelete