hananurlaili@yahoo.com

Friday, October 16, 2015

Hadits Peduli Lingkungan

Friday, October 16, 2015

Share it Please

 

 

BAB I

Pendahuluan



A. Latar Belakang

Alam semesta merupakan karunia yang paling besar dari Allah SWT. bagi manusia, untuk itu manusia harus memanfaatkannya dengan baik dan harus terus bersyukur kepada-Nya. Dinegara kita yang subur ini Allah telah menganugerahkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat kita manfaatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari tumbuh-tumbuhan dapat kita manfaatkan untuk makanan sehari-hari, untuk obat-obatan, untuk mambuat rumah peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Oleh karena itu maka selayaknya kita menjaga dan memelihara tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT. Dan agar manfaatnya bisa kita rasakan dan mencegah kerusakannya supaya kita terhindar dari mudarat akibat kerusakannya.
Rasulullah SAW. menyuruh untuk menanam kembali apa yang rusak dari hutan yang telah ditebang dan dirusak. Rasulullah sendiri memuji perbuatan ini dengan salah satu perbuatan yang terpuji.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hadits tentang larangan menelantarkan lahan?
2. Bagaimana hadits tentang penanaman pohon yang merupakan langkah terpuji?
3. Bagaimana hadits tentang larangan buang air kecil pada air yang tenang?





BAB II

Pembahasan


A. Larangan Menelantarkan Lahan


حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ, فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ..
Artinya :
“Jabir bin Abdullah berkata, “Dahulu ada beberapa orang memiliki beberapa tanah lebih, lalu mereka berkata, “Lebih baik kami sewakan hasilnya sepertiga, seperempat, atau separuh.” Tiba-tiba Nabi SAW. bersabda, “Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya di Tanami atau diberikan kepada kawannya. Jika tidak diberikan, tahan saja.” (Bukhari, kitab “Hibah”, bab : “Keutamaan Manihah”)

حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ . (اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)

Artinya :
“Abu Hurairah r.a berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, ‘Siapa yang memiliki tanah, hendaknya menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya, jika tidak, boleh menahannya.” (Imam Bukhari, kitab “Pertanian”, bab : “Para Sahabat Menolong Sebagian kepada Sebagian yang Lain dari Sahabat Nabi”)

حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ع. أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ : لَا يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَاُ.
Artinya :
“Abu Hurairah berkata, Nabi SAW. bersabda, ‘Tidak boleh ditahan (ditolak) orang yang meminta kelebihan air, yang akan mengakibatkan tertolaknya kelebihan rumput.” (Bukhari, kitab “Al-Masafah” bab : “Orang yang Berkata bahwa Pemilik Air Lebih Berhak Memiliki Air”)[1]

Penjelasan hadits :
Dari ketiga hadits di atas dapat diketahui bahwa Islam melarang umatnya menelantarkan tanah garapan dan harus memberikan kelebihan air agar tanah orang lain pun dapat dipelihara.

1. Larangan menelantarkan tanah.
Islam sangat menghargai tanah yang merupakan karunia Allah SWT. Jika orang yang memiliki tanah luas, namun tidak sanggup mengurusi atau memanfaatkan tanahnya dengan tanaman yang bermanfaat, ia harus menyerahkan tanah, baik dengan cara menghibahkannya atau menyewakan kepada orang lain yang memilki waktu luang untuk menggarap tanah tersebut.
Seseorang yang diberi karunia oleh Allah SWT. berupa tanah misalnya, harus berusaha untuk memanfaatkannya, agar dapat menghasilkan sesuatu untuk bekal ibadah kepada-Nya. Jika tidak, ia dapat dikategorikan sebagai orang yang kufur nikmat, dan diancam oleh Allah SWT. dengan siksaan yang berat. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ibrahim ayat 7 :
Artinya:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Salah satu cara agar tanah tersebut tetap bermanfaat adalah dengan menyewakan kepada orang lain atau memberikannya. Dengan demikian, di samping tidak menelantarkan tanah, pemiliknya juga telah menolong orang lain dengan memberinya pekerjaan.
Mereka yang tidak mau menyewakan atau memberikan tanahnya kepada orang lain, diperintahkan oleh Rasulullah SAW. untuk menahan tanah tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan lingkungan dan kemaslahatan bagi umatnya.

2. Memberikan kelebihan air kepada orang lain
Air sangat penting dalam kehidupan manusia. Begitun pula dalam menggarap tanaman karena air yang teratur sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman. Oleh karena itu, bagi mereka yang memiliki keebihan air memberikan kelebihan air tersebut kepada orang lain.
Perbuatan seperti itu tentu saja sangat terpuji karena telah memberikan kemudahan kepada orang lain, sekaligus lebih mempererat persaudaraan di antara mereka. Sebaliknya apabila ia kikir, tidak mau memberikan sebagian airnya yang lebih, hal itu memicu pertengkaran yang tidak mustahil akan menimbulkan korban. Keadaan seperti itu banyak terjadi di masyarakat, padahal menurut sebagian ulam fiqih, air bukan milki siapapun meskipun berada pada tanahnya dan Rasulullah SAW. melarang untuk menjualnya.

Dalam menyikapi larangan Rasulullah SAW. tersebut, para ulama memiliki perbedaan pendapat, antara lain sebagai berikut :

1. Ada yang berpendapat bahwa larangan menjual air lebih tersebut bukanlah haram, tetapi hanya larangan tanjih (larangan untuk membersihkan).
2. Ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut haram hukumnya. Ini kalau kelebihan air tersebut diperuntukkan untuk menumbuhkan rumput bagi binatang ternak di lapangan, padahal rumput sendiri huumnya mubah. Jadi, menurut mereka dapat dianalogikan bahwa orang yang menjual kelebihan air sama dengan menjual lapangan tersebut yang dimubahkan bagi siapa saja.

B. Penanaman Pohon (Reboisasi) Merupakan Langkah Terpuji


حَدِيْثُ اَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ: مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ اَوْيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ اَوْاِنْسَانٌ اَوْبَهِيْمَةٌ اِلاَّكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. (اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Artinya :
“Anas r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tiada seorang muslim pun yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang lainnya melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah.” (Bukhari, kitab “Pertanian”, bab : “Keutamaan Menanam dan Makanan dari Tanaman Tersebut”)

Penjelasan hadits :
Hadits di atas mengandung anjuran agar semua manusia, khususnya umat Islam, menanam tanaman yang berguna, baik bagi manusia maupun binatang. Apabila tanaman tersebut telah berbuah dan dimakan oleh manusia atau pu binatang, maka dia akan mendapat pahala sedekah dari setiap buah yang dimakan, sekalipun buah tersebut dicuri.
Hal itu menggambarkan betapa Islam sangat menghargai usaha manusia untuk memakmurkan dan memanfaatkan tanah. Karena tanaman yang ditanam pasti akan bermanfaat bagi manusia maupun bagi makhluk-makhluk Allah lainnya. Maka setiap orang hendanya tidak boleh egois, yakni menanam tanaman untuk dinikmati sendiri. Jika cara berpikirnya seperti itu, orang yang sudah tua dipastikan tidak akan mau menanam tanaman karena ia merasa tidak akan mungkin memakan buahnya. Seyogianya ia berpikir bahwa manfaat darsebuah tanamn tidak hanya buahnya, tetapi pahala yang akan diterimanya apabila buah dari tanaman tersebut dimakan oleh manusia atau binatang.
Perbuatan seperti itu akan membawa kemaslahatan, baik untuk tanah dirinya, orang lain, dan binatang apalagi jika tanman tersebut merupakan tanaman yang buahnya sangat disukai oleh manusia dan binatang.
Hadits di atas juga mengandung anjuran untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT. Dengan menanam pohon, berarti dia telah memberiakan tempat kepada binatang untuk hinggap atau tempat bertengger dan mendapatkan sumber makanan ketika pohon tersebut berbuah.

C. Larangan Kencing Di Air Tergenang


وزادابوداودعن معاذ رضي الله عنه الموارد. ولفظه اثقواالملاعن الثلاث:البرازفى المواردوقارعةالطريق والظل.

Artinya :
“Abu Daud dari Mu’az r.a. menambahkan lafal “al mawa-rid” (tempat aliran air); Dan lafal (selengkapnya) : Sucikanlah dirimu dari tiga tempat menyebabkan kutukan, yaitu berak di tempat-tempat aliran air, di jalan raya dan tempat berteduh.”[4]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَة ر.ع. قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. : لَا يَبُوْ لَنَّ أَحَدُ كُمْ فِى الْمَاءِ الدَّا ئِـِم الَّذِيْ يَجْرِىْ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ.

Artinya :
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Janganlah seseorang di antara kamu buang air kecil di air diam yang tidak mengalir, kemudian ia mandi pada air tersebut.” (H.R. Bukhari)[5]
. قَالَ : [لَا يُنْقَعُ] بَوْلٌ فِى طَسْتٍ فَإِنَّ الْمَلَا ئِـكَةَ لاَ تَدْجُلُ بَيْنًا فِيْهِ بَوْلٌ مُنْتَقَعْ, وَلَا تَبُوْ لَنَّ فِيْ مُغْتَسَلِكَ. عَنْ عَبْدِ اللهِ بْن زَيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ ص.م
Artinya :
Dari Abdullah bin Zaid, dari NAbi SAW, beliau bersabda, “Tidak boleh dikumpulkan air kencing di dalam tempat air di rumah, karena malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada air kencing yang dikumpulkan dan janganlah kamu kencing di air tempat kamu mandi.” (H.R. Ath-Thabrani)[6]

Penjelasan hadits :
Lafal “Albiraz” itu berarti tempat atau tanah lapang luas. Lafal “al mawarid” berarti tempat yang selalu didatangi atau dikunjungi orang seperti tempat mata air atau sungai, untuk keperluan minum air itu atau untuk keperluan berwudlu’.
Menurut Ahmad dari Ibnu Abbas r.a. ada tambahan kata di tempat tergenang air. Lafal tersebut, sesudah lafal Hadits di atas, yang lafal lengkapnya :

اتقواالملاعن الثلاث : ان يقعداحدكم فى ظل يستظل به اوفى طريق او فى ماء.

Artinya :
“Sucikanlah dirimu dari tempat yang menyebabkan kutukan, yaitu pada tempat duduknya seseorang dari kamu, di tempat naungan untuk berteduh, atau di jalan atau di tempat tergenang air.”

Lafal “Naq’ul Ma’I” itu, berarti air yang tergenang sebagaimana dijelaskan di dalam kitab “An Nihayah”.[7]
Sedangkan hadits Abu Hurairah :

النَّهْيُ عَنِ البَوْلِ فِي المَاءِ الرَّاكَدِ.

Artinya :
“Larangan kencing di air tenang.” (H.R. Muttafaq ‘Alaih). Dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jabir dan Ath-Thabrani di dalam Al Ausath dengan lafazh.”

الْمَاءُ الْجَارِي.
Artinya :
“Air yang mengalir.”

Lafazh La Yunqa’ artinya tidak dikumpulkan dan air yang naqi’ yaitu air yang berkumpul.[8]
Air yang diam (tidak mengalir) menampung apa saja yang masuk ke dalamnya, baik kotoran ataupun najis. Apabila air tersebut di pakai oleh orang banyak, maka, buang air kecil di tempat tersebut, dapat dipastikan akan menyebabkan air tersebut menjadi kotor atau mengandung najis. Tentu saja apabila dipakai mandi, bukannya akan membersihkan badan melainkan akan menyebabkan najis dan mendatangkan penyakit.[9]
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum buang air kecil dilihat dahulu apakah air tersebut banyak sehingga tidak akan berpengaruh terhadap air tersebut, ataukah sedikit sehingga akan menyebabkan air tersebut menjadi najis. Sebaiknya air tersebut dikhususkan untuk mandi saja, sedangkan untuk buang air kecil dapat dilakukan di tempat lain yang dikhususkan untuk itu.[10]
Dengan demikian, kesehatan dan kebersihan sangat dipentingkan dalam Islam, dan kesucian dari najis merupakan salah satu syarat sahnya shalat, yang merupakan tiang agama. Selain itu, orang bersih pun akan disukai oleh siapa saja. Karena pada prinsipnya manusia menyukai hal-hal yang bersih dan indah. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 222 :
Artinya:
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku Telah melabihkan kamu atas segala umat.




BAB III

Penutup


A. Kesimpulan

Islam melarang umatnya menelantarkan tanah garapan dan harus memberikan kelebihan air agar tanah orang lain pun dapat dipelihara.
Anjuran agar semua manusia, khususnya umat Islam, menanam tanaman yang berguna, baik bagi manusia maupun binatang. Apabila tanaman tersebut telah berbuah dan dimakan oleh manusia atau pun binatang, maka dia akan mendapat pahala sedekah dari setiap buah yang dimakan, sekalipun buah tersebut dicuri.
Sebaiknya sebelum buang air kecil dilihat dahulu apakah air tersebut banyak sehingga tidak akan berpengaruh terhadap air tersebut, ataukah sedikit sehingga akan menyebabkan air tersebut menjadi najis. Sebaiknya air tersebut dikhususkan untuk mandi saja, sedangkan untuk buang air kecil dapat dilakukan di tempat lain yang dikhususkan untuk itu.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Ringkasan Targhib wa Tarhib. 2006. Jakarta: Pustaka Azzam.
Muhammad, Abubakar. Subulus Salam. 2004. Surabaya: Al Ikhlas.
Syafei, Rachmat. Al-Hadits. 2000. Bandung: Pustaka Setia.

[1] Rachmat Syafei, Al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 263
[2] Ibid., hlm 265
[3] Rachmat Syafei, Al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 267
[4] Abubakar Muhammad, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas,), hlm 203
[5] Rachmat Syafei, Al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 271
[6] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ringkasan Targhib wa Tarhib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm 37
[7] Abubakar Muhammad, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 2004), hlm 204
[8] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ringkasan Targhib wa Tarhib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm 37
[9] Rachmat Syafei, Al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 272
[10] Ibid.,

0 komentar:

Post a Comment